http://id.wikipedia.org |
Dua jam sebelum Gunung Merapi meletus, Mbah Maridjan masih tersenyum dan menyapa ramah para tamu yang datang ke rumahnya. Ternyata itulah senyum terakhir juru kunci gunung tersebut.
Saat ditemui di rumahnya di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, sekitar pukul 15.00 WIB, ia tengah bergegas
menuju masjid yang ada di sisi barat rumahnya untuk menunaikan salat ashar.
Di tengah kumandang adzan, ia berjalan kaki dengan mengenakan baju koko warna cokelat, dipadu sarung dan peci putih. Sementara itu, tamu-tamu yang akan menemuinya, oleh lelaki kelahiran 1927 tersebut dipersilakan menunggu di ruang tamu rumahnya yang berjarak lima kilometerri dari puncak Gunung Merapi.
Setengah jam kemudian, ketika keluar dari masjid, dengan senyum ceria ia menyapa tamu-tamunya yang berdiri di depan rumah. Tidak ada tanda-tanda apapun yang memperlihatkan ia akan pergi untuk selamanya.
Tidak ada yang tahu Selasa (26/10) petang, sekitar pukul Gunung Merapi erupsi eksplosif. Luncuran awan panas pertama terjadi sekitar pukul 17.02, kedua pada pukul 17.19, ketiga pukul 17.24, dan keempat pukul 17.34 WIB. Perkampungan tempat tinggal lelaki bertubuh pendek itu rata tertimbun pasir panas yang dimuntahkan Merapi.
Juru kunci yang juga abdi dalem berpangkat Mas Penewu itu akhirnya meninggal dalam posisi bersujud. Jasadnya ditemukan Rabu (27/10) pagi oleh tim evakuasi dalam kondisi terpanggang material vulkanis Merapi.
"Ibarat anggota TNI, mengungsi bagi Mbah Marijan adalah desersi. Sehingga mati pun ia rela demi tanggung jawabnya," kata Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Terakhir kali bertemu, juru kunci yang bertugas sejak 1983 itu tampak ceria dan banyak bercanda. Di sela-sela perbincangan ia selalu membumbui dengan guyonan-guyonan khas Jawa yang tidak terduga sebelumnya. Setiap kali tersenyum, dia selalu menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Senyum pada Selasa sore itu, ternyata adalah senyum terakhir Mbah Maridjan. (OL-01)
Saat ditemui di rumahnya di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, sekitar pukul 15.00 WIB, ia tengah bergegas
menuju masjid yang ada di sisi barat rumahnya untuk menunaikan salat ashar.
Di tengah kumandang adzan, ia berjalan kaki dengan mengenakan baju koko warna cokelat, dipadu sarung dan peci putih. Sementara itu, tamu-tamu yang akan menemuinya, oleh lelaki kelahiran 1927 tersebut dipersilakan menunggu di ruang tamu rumahnya yang berjarak lima kilometerri dari puncak Gunung Merapi.
Setengah jam kemudian, ketika keluar dari masjid, dengan senyum ceria ia menyapa tamu-tamunya yang berdiri di depan rumah. Tidak ada tanda-tanda apapun yang memperlihatkan ia akan pergi untuk selamanya.
Tidak ada yang tahu Selasa (26/10) petang, sekitar pukul Gunung Merapi erupsi eksplosif. Luncuran awan panas pertama terjadi sekitar pukul 17.02, kedua pada pukul 17.19, ketiga pukul 17.24, dan keempat pukul 17.34 WIB. Perkampungan tempat tinggal lelaki bertubuh pendek itu rata tertimbun pasir panas yang dimuntahkan Merapi.
Juru kunci yang juga abdi dalem berpangkat Mas Penewu itu akhirnya meninggal dalam posisi bersujud. Jasadnya ditemukan Rabu (27/10) pagi oleh tim evakuasi dalam kondisi terpanggang material vulkanis Merapi.
"Ibarat anggota TNI, mengungsi bagi Mbah Marijan adalah desersi. Sehingga mati pun ia rela demi tanggung jawabnya," kata Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Terakhir kali bertemu, juru kunci yang bertugas sejak 1983 itu tampak ceria dan banyak bercanda. Di sela-sela perbincangan ia selalu membumbui dengan guyonan-guyonan khas Jawa yang tidak terduga sebelumnya. Setiap kali tersenyum, dia selalu menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Senyum pada Selasa sore itu, ternyata adalah senyum terakhir Mbah Maridjan. (OL-01)
(ref.www.mediaindonesia.com)
Berikut Video Mbah maridjan, beliau meninggal dalam posisi sujud,
1 comments:
luarbiasa,,
MotoGP
Posting Komentar